Kamis, 21 Februari 2013
All in good hands!
Apa yang sebenarnya ingin anda lihat ketika pada awal sebuah film, terdapat pernyataan bahwa kisahnya berdasarkan pada kejadian nyata? Bila anda sebelumnya tidak tahu, apakah anda akan mempedulikannya? Seberapa besar pengaruh 'based on true event' ini? Well, salah satu sutradara yang tampaknya peduli akan banyak aspek dari premis ini adalah Kathryn Bigelow.
Sutradara wanita ini, yang entah mengapa begitu hobinya membuat film-film bertemakan operasi militer, memiliki sebuah visi yang jelas mengenai film yang memiliki dokumentasi sejarah, yang akan berkaitan jelas dengan aslinya, perpaduan tontonan dramatis yang sangat ditunggu penggemar genre ini, runtun cerita yang detail dan jelas dan kisah yang tegas, karakteristik tokoh yang mendalam, sebagai syarat sebuah tontonan berkualitas dan tentunya disukai kritikus. Seakan sudah hafal dengan konsep dan rumusan ini, maka Bigelow tidak susah meramu materi film ini yang merupakan catatan sejarah Amerika dalam memburu teroris.
Dengan perpaduan seluruh resep diatas, seringkali film dengan genre serupa terjebak dengan pola sentralisasi pada karakter. Namun tidak pada film ini. Walaupun Maya sebagai karakter utama, yang dimainkan sangat gemilang oleh Jessica Chastain, esensi utama dan misi awal film ini cukup menyatu dengan baik seturut pengalaman hidup, dan keteguhan hatinya menyelesaikan tugas yang harus dia kerjakan. Perpaduan ini menjadi cukup enak untuk ditonton, karena penonton tidak akan kehilangan inti cerita, namun tetap memperhatikan dan memberikan porsi yang lumayan banyak untuk 'mempedulikan' karakter utamanya. Saya tidak tahu apakah karena Bigelow adalah seorang wanita, sehingga karakter ini cukup bersinar sebagai seorang sosok wanita tangguh yang tetap 'wanita'.
Overall, sebuah pertunjukan yang menarik, jarang bisa didapatkan dari sebuah true event yang seharusnya dirahasiakan. Dibandingkan dengan film senada seperti Argo, penggalian yang dilakukan penulis naskah terasa lebih dalam dan detail,sehingga Bigelow dengan mudahnya bermain dengan gaya khasnya disini,sehingga paduannya dilengkapi dengan aktor aktris yang kuat menjadikannya sebuah pertunjukan 2,5 jam yang detail,namun mengena.
Zero Dark Thirty (9,1/10): Di tangan yang benar, sebuah film menjadi suguhan yang seimbang antara otentik, storytelling, dan suspense. Great Job. Satu kontender Oscar yang sangat bagus.
Kamis, 14 Februari 2013
sebuah kisah sesi-sesi terapi yang sederhana namun berbicara banyak
Satu lagi film yang mengetengahkan hal yang tidak biasa. Agak naif kalau bicara 'tidak normal', karena film ini tidak bicara mengenai perjuangan hidup seseorang yang mengalami kelainan. Dimana banyak film menceritakan perjuangan hidup atau penderitaan atau simpati, film ini menceritakannya layaknya pengalaman umum dari orang normal, yang kebetulan adalah seseorang yang mengalami kelainan fisik.
Mark O'Brien adalah seorang jurnalis , yang kemudian mengalami lumpuh dari leher ke bawah karena penyakit polio. Pada akhir hidupnya, dia menceritakan pengalaman yang unik: melakukan sesi terapi. Terapi kesehatan? Hmmm.. tepatnya terapi seksual. Cheryl Cohen-Greene, adalah terapis seksualitas. Pekerjaan apa itu? Membantu masalah seksual. Namun profesi ini ditampik kalau disamakan dengan pelacuran, karena ini benar-benar terapi. Hubungan Mark dan Cheryl pun kebanyakan diceritakan secara gamblang di 3/4 jalan cerita, dan uniknya pengalaman ini pun dikonsultasikan oleh Mark dengan seorang pastur yang tetap memberi dukungan dan support bagi Mark.
Walau seakan Mark O'Brien yang mengkisahkannya, film ini seperti gabungan experience dari sudut pandang tokoh-tokoh pendukungnya, dan dia sendiri hanya sebagai pelengkap. Maka tidak salah apabila Helen Hunt yang berperan sebagai Cheryl lebih menonjol dikisahkan detailnya secara kontribusi dalam hidup Mark maupun kehidupan pribadinya. Peran William H.Macy sebagai pendetapun sebenarnya lebih pas apabila selain berperan, dia juga yang menarasikan kisah ini dari awal. Kisah ini dibuat dengan tidak melankolis, efektif dan to the point dengan bumbu yang tidak banyak.
Mungkin yang menarik perhatian adalah Helen Hunt sendiri yang harus rela telanjang bulat dan dishoot bekali-kali , namun Hunt sudah menunjukkan keprofesionalitasannya dalam peran. Bukan dalam artian profesionalnya dalam hal ketelanjangan, tapi transformasinya menjadi seorang terapis yang natural sangat dirasakan disini, sehingga film ini sungguh hidup. Hal yang unik mungkin tokoh pendeta yang walaupun dari gereja Katholik, namun sang romo berpendapat: ' mungkin Tuhan memberi free pas untuk anda'. Mmm.. mungkin ngga usah diperdebatkan dari sisi agama, karena film ini ngga akan mendapat sisi 'curcol' Mark kepada anda yang diwakili oleh sang pendeta itu sendiri. Dan itu penting.
So, its a good movie. Tidak mungkin memang film ini bakal diputar di bioskop kita, karena bila disensor ya inti ceritanya langsung hilang. Tapi kisah sederhana ini benar-benar dibuat serius dan bila anda jeli, bukan masalah hubungan seksnya yang dipentingkan, sehingga film ini tidak terjebak menjadi film porno.
The Sessions (2012): 7,7/10 : simple, hangat, pengerjaan serius, didukung akting Helen Hunt yang sudah masuk kategori profesional. Bila kita buang jauh-jauh masalah sensor, agama, dan lain-lain, maka ini adalah sebuah kisah sederhana yang mampu 'berbicara' pada anda.Based on true story and real events.
Mark O'Brien adalah seorang jurnalis , yang kemudian mengalami lumpuh dari leher ke bawah karena penyakit polio. Pada akhir hidupnya, dia menceritakan pengalaman yang unik: melakukan sesi terapi. Terapi kesehatan? Hmmm.. tepatnya terapi seksual. Cheryl Cohen-Greene, adalah terapis seksualitas. Pekerjaan apa itu? Membantu masalah seksual. Namun profesi ini ditampik kalau disamakan dengan pelacuran, karena ini benar-benar terapi. Hubungan Mark dan Cheryl pun kebanyakan diceritakan secara gamblang di 3/4 jalan cerita, dan uniknya pengalaman ini pun dikonsultasikan oleh Mark dengan seorang pastur yang tetap memberi dukungan dan support bagi Mark.
Walau seakan Mark O'Brien yang mengkisahkannya, film ini seperti gabungan experience dari sudut pandang tokoh-tokoh pendukungnya, dan dia sendiri hanya sebagai pelengkap. Maka tidak salah apabila Helen Hunt yang berperan sebagai Cheryl lebih menonjol dikisahkan detailnya secara kontribusi dalam hidup Mark maupun kehidupan pribadinya. Peran William H.Macy sebagai pendetapun sebenarnya lebih pas apabila selain berperan, dia juga yang menarasikan kisah ini dari awal. Kisah ini dibuat dengan tidak melankolis, efektif dan to the point dengan bumbu yang tidak banyak.
Mungkin yang menarik perhatian adalah Helen Hunt sendiri yang harus rela telanjang bulat dan dishoot bekali-kali , namun Hunt sudah menunjukkan keprofesionalitasannya dalam peran. Bukan dalam artian profesionalnya dalam hal ketelanjangan, tapi transformasinya menjadi seorang terapis yang natural sangat dirasakan disini, sehingga film ini sungguh hidup. Hal yang unik mungkin tokoh pendeta yang walaupun dari gereja Katholik, namun sang romo berpendapat: ' mungkin Tuhan memberi free pas untuk anda'. Mmm.. mungkin ngga usah diperdebatkan dari sisi agama, karena film ini ngga akan mendapat sisi 'curcol' Mark kepada anda yang diwakili oleh sang pendeta itu sendiri. Dan itu penting.
So, its a good movie. Tidak mungkin memang film ini bakal diputar di bioskop kita, karena bila disensor ya inti ceritanya langsung hilang. Tapi kisah sederhana ini benar-benar dibuat serius dan bila anda jeli, bukan masalah hubungan seksnya yang dipentingkan, sehingga film ini tidak terjebak menjadi film porno.
The Sessions (2012): 7,7/10 : simple, hangat, pengerjaan serius, didukung akting Helen Hunt yang sudah masuk kategori profesional. Bila kita buang jauh-jauh masalah sensor, agama, dan lain-lain, maka ini adalah sebuah kisah sederhana yang mampu 'berbicara' pada anda.Based on true story and real events.
Selasa, 12 Februari 2013
Temukan silver liningmu!
Melihat film ini serasa kembali ke tahun 1997, saat film nominasi oscar yang apik, as good as it gets, yang memiliki kualitas sangat baik dari sisi penggarapan dan akting yang dapat menyentuh emosi penonton, seakan diminggirkan oleh film fenomenal saat itu, Titanic. Film ini pun memiliki kisah yang nyaris serupa, dan bahkan menurut saya lebih baik dengan pendekatan komedi yang lebih mengena.
Bradley Cooper, Jennifer Lawrence..siapa menyangka chemistry mereka bisa dipadu dengan kondisi saling melengkapi di latar belakang, dan terlihat selfish di latar depan. Lawrence menemukan bintang besarnya disini. Casting mungkin sangat beruntung memilih aktris ini untuk mewakili karakter yang bimbang, emosional, addicted setelah menjanda. Jujur saja, saya hanya ingin melihat akting Jessica Castain di Zero Dark Thirty sebelum dengan mantap saya memprediksikan Jennifer Lawrence akan membawa pulang oscar nantinya. Semakin adegan menuju akhir, karakter Tifanny yang diperankannya akan semakin ditunggu penontonnya. Why? Tonton sendiri untuk mengetahuinya.
Adaptasi kisah ini tidak sulit untuk diikuti, diceritakan dengan energi yang tidak membosankan penonton, alurnya pun memiliki poin-poin signifikan yang akan selalu diingat penontonnya setelah film ini berakhir. Dan scene-scene tersebut tidak hanya satu dua, namun cukup banyak. Endingnya pun tidak terlalu memaksakan, dan sangat mengerti kondisi pemainnya dan kita pun akan merasakan emosi yang tidak over dari mereka. Bradley Cooper dan Robert DeNiro tentunya bermain cemerlang, namun (sekali lagi) Lawrence adalah bintangnya.
Silver Linings Playbook (2012) : 9,0/10 : Real life moments dari orang-orang 'tidak normal' digarap dengan tidak membosankan, maksimal dan didukung oleh pemain-pemain yang jempolan, Jennifer Lawrence sangat gemilang dan bersinar disini.
Minggu, 10 Februari 2013
beasts of the southern wild : apa yang anda bisa diharapkan dari seorang anak? ternyata sesuatu yang luar biasa!
Saat ini banyak film yang mencari keunikan dengan cara yang berbeda-beda. Salah satunya adalah dengan metoda kisah dengan latar penuturan dari tokoh utamanya sendiri. Bukan seperti adaptasi sinetron kita untuk mencari ketegangan atau mencari sensasi berlebihan , penuturan ini tidak mendominasi kisah, namun hanya sebagai penuntun penonton untuk lebih memahami latar belakang pemikiran karakter yang tidak akan muncul di visualisasinya,namun penuturan ini akan memperkuat scene yang sedang divisualkan di layar. Dan cara ini dilakukan oleh film ini, Beasts of the Southern Wild.
Jangan salah mengartikan dari sekedar membaca judulnya. Film ini bukan film kehidupan liar, bukan juga dokumenter tentang satwa hutan. Adalah seorang anak yang dipanggil Huspuppy yang tinggal bersama ayahnya di sebuah tempat kumuh yang merupakan tempat yang sesungguhnya tak dapat dihuni dan rawan tenggelam, kadang mereka menyebutnya dengan istilah Bathtub. Dalam kehidupannya untuk bertahan, memperhatikan keadaan ayahnya dan lingkungannya yang sungguh tidak terbayangkan untuk anak seusianya, Hushpuppy berimajinasi mengenai balance tentang lingkungan, belajar mengenai mimpi, kebersamaan, dan akhirnya menghadapi kenyataan perjuangan hidup diantara ego anak seusianya sendiri.
Sungguh sayang sebenarnya kalau saya ceritakan keseluruhan kisah ini disini. Adaptasi drama ini nyaris memiliki segalanya. Plot yang rapi, dan bahkan setiap adegannya tidak terbuang percuma. Kita akan diajak untuk melihat banyak aspek dalam kehidupan seorang anak. Dan bahkan keunikan film konteder oscarnya, Amour, yang mengedepankan uniknya makna cinta, film ini pun memilikinya dan berani dituturkan dengan kondisi yang jauh dari ideal sesorang membayangkan ada indahnya kasih di dunia seperti lingkungan Huspuppy. Ajakan untuk berfilosofi, berimajinasinya pun tak terlalu dipaksakan, namun cukup mendalam dengan tetap mengingat bahwa Huspuppy hanyalah seorang anak yang beranjak remaja. Beban besar memang diberikan pada pemerannya, Quvenzhané Wallis, yang dicatat sebagai peraih nominasi aktris terbaik termuda sepanjang masa di Academy Awards (9 tahun!), namun dia memang berhasil gemilang memerankan karakter utama film ini dengan nyaris sempurna.
Jadi tidak salah saya kira bila Oscar tahun ini melirik film ini menjadi nominasi Film terbaik, karena memang film ini sungguh layak. Saya pribadi tidak terlalu berharap film ini memenangkan oscarnya, cukuplah dunia tahu bahwa ada seorang anak yang bernama Huspuppy yang belajar menjadi beast, dan menitipkan imajinasinya ke para peneliti sains di dunia tentang keseimbangan dunia.
Beasts of the Southern Wild (2012) : 8,0 /10 : dunia anak yang lengkap namun penuh kesederhanaan dengan filosofi dan imajinasi yang tepat mendukung sebuah kisah yang memiliki kompleksitas pesan yang dibebankan pada seorang anak kecil. It's near perfect.
Jangan salah mengartikan dari sekedar membaca judulnya. Film ini bukan film kehidupan liar, bukan juga dokumenter tentang satwa hutan. Adalah seorang anak yang dipanggil Huspuppy yang tinggal bersama ayahnya di sebuah tempat kumuh yang merupakan tempat yang sesungguhnya tak dapat dihuni dan rawan tenggelam, kadang mereka menyebutnya dengan istilah Bathtub. Dalam kehidupannya untuk bertahan, memperhatikan keadaan ayahnya dan lingkungannya yang sungguh tidak terbayangkan untuk anak seusianya, Hushpuppy berimajinasi mengenai balance tentang lingkungan, belajar mengenai mimpi, kebersamaan, dan akhirnya menghadapi kenyataan perjuangan hidup diantara ego anak seusianya sendiri.
Sungguh sayang sebenarnya kalau saya ceritakan keseluruhan kisah ini disini. Adaptasi drama ini nyaris memiliki segalanya. Plot yang rapi, dan bahkan setiap adegannya tidak terbuang percuma. Kita akan diajak untuk melihat banyak aspek dalam kehidupan seorang anak. Dan bahkan keunikan film konteder oscarnya, Amour, yang mengedepankan uniknya makna cinta, film ini pun memilikinya dan berani dituturkan dengan kondisi yang jauh dari ideal sesorang membayangkan ada indahnya kasih di dunia seperti lingkungan Huspuppy. Ajakan untuk berfilosofi, berimajinasinya pun tak terlalu dipaksakan, namun cukup mendalam dengan tetap mengingat bahwa Huspuppy hanyalah seorang anak yang beranjak remaja. Beban besar memang diberikan pada pemerannya, Quvenzhané Wallis, yang dicatat sebagai peraih nominasi aktris terbaik termuda sepanjang masa di Academy Awards (9 tahun!), namun dia memang berhasil gemilang memerankan karakter utama film ini dengan nyaris sempurna.
Jadi tidak salah saya kira bila Oscar tahun ini melirik film ini menjadi nominasi Film terbaik, karena memang film ini sungguh layak. Saya pribadi tidak terlalu berharap film ini memenangkan oscarnya, cukuplah dunia tahu bahwa ada seorang anak yang bernama Huspuppy yang belajar menjadi beast, dan menitipkan imajinasinya ke para peneliti sains di dunia tentang keseimbangan dunia.
Beasts of the Southern Wild (2012) : 8,0 /10 : dunia anak yang lengkap namun penuh kesederhanaan dengan filosofi dan imajinasi yang tepat mendukung sebuah kisah yang memiliki kompleksitas pesan yang dibebankan pada seorang anak kecil. It's near perfect.
Langganan:
Postingan (Atom)